BESINFO.COM, Cianjur – Sigit Budiananto Kisah Oemar Bakri tenaga pengajar dari pelosok Desa Mekarmukti, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Cianjur, harus berjalan kaki menempuh sekitar 17 kilometer setiap harinya ke lokasi sekolah.
“Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri Umar Bakri
Banyak ciptakan menteri
Oemar Bakrie
Bikin otak orang seperti otak Habibie
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakrie
Seperti dikebiri,” Begitulah sedikit penggalan lirik lagu Oemar Bakri yang diciptakan oleh Iwan fals.
Mengajar di sekolah yang berada di wilayah terpencil bukan hal yang mudah dilakukan oleh seorang guru atau tenaga pengajar.
Namun hal itu, tidak berlaku bagi Sigit Budiananto, seorang guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) di SDN Cigombong, Desa Mekarmukti, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Cianjur.
Pria berusia 43 tahun itu setiap harinya harus menempuh jarak 17 kilometer dengan menyusuri jalan kabupaten yang kondisinya sangat buruk dan lebih layak disebut ‘sungai kering’ untuk dapat tiba di sekolah tempatnya mengajar.
Sigit yang sejak 2009 lalu bertugas di sekolah dasar itu setiap harinya harus mengajar sebanyak 44 siswa yang terdiri dari siswa kelas 1 hingga kelas VI.
Dengan hanya dibantu satu orang tenaga pengajar lainnya yang berstatus honorer, Sigit tidak pernah lelah dan mengeluh untuk memberikan pendidikan kepada puluhan siswanya.
“Sejak awal kesini 2009 lalu, kawasan ini lebih seperti hutan, karena memang dikelilingi area perkebunan yang berbukit. Halaman sekolah banyak ditumbuhi ilalang. Setiap hari saya menempuh jarak 17 kilometer dari rumah menyusuri jalan berbatu dan penuh kubangan untuk dapat sampai di sekolah,” kata Sigit, sembari tersenyum.
Disebutkan Sigit, semangat dan keinginan para siswa untuk mendapatkan pendidikan yang layak menjadi motivasi dirinya, walaupun harus mengajar di wilayah terpencil di Kabupaten Cianjur.
“Mereka (Siswa) memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak sedikit siswa di sekolah ini yang harus berjalan kaki hingga tujuh kilometer menyusuri bukit untuk sampai di sekolah,” jelasnya.
Awalnya jumlah siswa di sekolah dasar itu cukup banyak. Namun, kata Sigit, seiring berjalan waktu para siswa itu lebih memilih pindah ke sekolah lain yang berada di wilayah Kabupaten Bandung yang memang lebih representatif.
“Dari enam ruang kelas, hanya tiga kelas yang masih layak digunakan untuk belajar mengajar dan sisanya sudah tidak layak. Bahkan satu ruang kelas lainnya sudah ambruk,” ujarnya.
Bahkan sambung Sigit, di sekolah tempatnya mengajar itu terdapat satu tingkatan kelas yang hanya diisi oleh satu orang siswa.
“Yak, hanya ada satu siswa kelas VI yang masih bertahan belajar di sekolah ini. Awalnya, terdapat 8 siswa, tapi mereka pada pindah sekolah ke wilayah Kabupaten Bandung,” ucapnya.
Berada di wilayah terpencil, lanjut Sigit, membuat sekolah dasar itu luput dari perhatian pemerintah daerah setempat.
“Saat sekolah yang lain belajar secara daring selama pandemi Covid-19, kita masih tetap belajar tatap muka karena keterbatasan fasilitas, tidak ada jaringan atau sinyal untuk internet dan handphone. Untuk fasilitas listrik saja baru setahun kemarin terpasang, sebelumnya tidak ada,” katanya.
Sigit berharap, Pemkab Cianjur dapat lebih memperhatikan dan peduli dengan kondisi pendidikan yang ada di wilayah terpencil.
“Banyak fasilitas penunjang pendidikan yang masih kurang, bahkan tidak ada. Semoga lebih dapat mendapat perhatian dan kepedulian dari pemerintah,” pungkasnya.
**eun