Cianjur – Daryo, warga Desa Cibinonghilir, Kecamatan Cilaku, Cianjur, menjadi salah satu orang beruntung yang dikaruniai usia panjang yakni berusia 107 tahun. Berbagai kejadian dia alami, termasuk masa peperangan melawan penjajah.
Pria kelahiran Tasikmalaya pada 1915 ini mengaku jika di usia mudanya turut berjuang melawan dan melindungi masyarakat dari serangan penjajah.
“Ngalamin saat dijajah Belanda, kemudian dijajah Jepang, sampai akhirnya Belanda kembali ingin menguasai atau menjajah lagi Indonesia setelah Jepang,” ungkap Abah Daryo, Senin (3/10/2022).
Di masa penjajahan dan agresi militer Belanda, Daryo menjadi salah seorang anggota pertahanan desa yang kemudian berganti nama menjadi pertahanan sipil atau Hansip di Tasikmalaya.
“Abah delapan tahun jadi Hansip di masa penjajahan dan serangan kembali Belanda ke Indonesia. Peran abah melindungi warga dari serangan, mengevakuasi warga agar tidak jadi korban serangan,” ujar dia.
Namun situasi yang semakin genting membuat Abah Daryo terpaksa mengungsi bersama keluarga dan mertuanya ke Cianjur.
“Ke Cianjur itu karena dibawa mertua, melihat situasi di sana sudah genting. Padahal ternyata di Cianjur juga sama gentingnya,” kata dia.
Saat pindah ke Cianjur, Daryo pun melepas statusnya sebagai Hansip dan beralih menjadi buruh tani untuk bertahan hidup. Beruntung dia dan keluarganya bisa bertahan melewati masa-masa genting saat penjajahan hingga agresi militer Belanda ke Indonesia.
Kini Daryo tinggal bersama anak tertua dari istri terakhirnya. Berkumpul bersama anak serta cucu, menikmati usianya yang sudah lebih dari seabad.
“Abah sudah 14 kali menikah, 10 kali di Tasik dan 4 di Cianjur. Sekarang tinggal dengan anak dari istri yang terakhir. Istri abah sekarang sudah meninggal,” ungkapnya.
Daryo mengaku hingga usia 105 tahun dirinya masih sanggup bekerja menjadi buruh tani dan tidak pernah mengalami sakit parah, bahkan tak pernah dirawat sekalipun. Namun sejak dua tahun terakhir, kondisinya melemah.
Pengelihatanya kini tidak bisa lagi berfungsi dengan baik, hanya pemandangan gelap yang terlihat dari matanya. Membuat dia lebih sering menghabiskan waktu rebahan di kamar dan sesekali pergi ke luar untuk ke masjid menunaikan salat.
“Sudah dua tahun abah susah melihat, jadinya gelap saja. Jadinya abah cuma tiduran, tapi kalau waktunya salat abah tetap berusaha ke masjid untuk salat berjamaah. Kadang diantar juga sama anak atau cucu ke masjidnya. Tapi abah masih bersyukur, masih bisa jalan ke masjid, tidak mengalami sakit parah sampai harus tiduran terus,” tuturnya. (dra/tr)